My Passion, My Life... : Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
Sejak lama, hmm...mungkin persisnya ketika SMA aku sudah bercita-cita untuk bisa bekerja dengan berbagi sesuatu, bisa berupa jasa ataupun ilmu. Memang, sejujurnya aku menempuh pendidikan bukan di SMA impian aku walaupun di atas kertas, sekolah tersebut tergolong favorit. Ketika itulah, aku merasa unik...iya unik. Ketika teman-teman aku begitu mencari cita-cita untuk bisa sekolah di sana, justru aku mencari sekolah yang bisa menampung minat aku. Unik bukan? Waktu itu, ilmu parenting mungkin belum banyak dikupas, terutama pentingnya akomodasi terhadap minat dan bakat anak. Ketika itu, aku merasa diarahkan seolah hanya mengejar nilai di atas kertas. Belum ada trending terhadap pentingnya nilai dari suatu softskill, tetapi aku justru ingin memperkuat softskill yang mungkin bisa aku kembangkan.
![]() |
| Sumber : Koleksi pribadi |
Aku jadi teringat tentang usahaku untuk mengembangkan minatku
yang tertuju pada ekskul Paskibra. Entah kenapa, mungkin saking seringnya
melihat ayah aku yang wajib apel di kesatuannya, lalu sering beri hormat ke
Sang Saka Merah Putih, hehehe.... Maka, dengan sendirinya timbul angan-angan
untuk dapat melakukan prosesi upacara dan
menjalankan tugas menjadi pengibar bendera yang ‘ahli’ (versi imajinasi
anak SD). Terlebih, kakak aku yang sudah terlebih dahulu menjadi anggota
Paskibraka di SMP dan SMA dimana dia bersekolah.
Namun, impian masa remaja itu kandas karena aku tetap ‘dijebloskan’
ke sekolah favorit itu dengan dalih ibuku bahwa NEM aku ketika itu masih
memenuhi kualifikasi. Nama SMA yang mana telah aku tuliskan pada formulir
pendaftaran waktu itu pada akhirnya berubah sesuai dengan keinginan ibu saya.
Malas sampai harus beradu pembicaraan, akhirnya aku pun pasrah. Nama SMA yang
aku inginkan akhirnya menjadi yang ‘kedua’. Beberapa hari atau beberapa minggu
kemudian, ternyata impianku sirna dan aku pun masuk ke SMA atas hasil piliham
ibuku.
Merasa bahwa aku ‘dibedakan’ perlakuannya daripada kakakku, hampir
selalu muncul ketika aku merasa “down” dengan suasana belajar di sana. Ditambah
dengan sulitnya mendapat teman yang “klik” di hati ketika kelas 1 SMA kala itu.
Lengkaplah sudah penderitaanku saat itu. Di saat SMA yang seharusnya bagi
sebagian orang menjadi tangga untuk
menghantarkan cita-cita ke perguruan tinggi ternama, bagiku itu adalah
saat-saat tersulit bagi hidupku. Rasanya semua hasil prestasiku di SMP yang
selalu menghantarkan aku menjadi bintang kelas, seolah menjadi “boomerang” bagi
hidupku. I am not alive at that time.
Dengan mem-flashback itu semua, aku
pun jadi belajar bahwa prestasi angka tidak selalu membawa kebahagiaan bagi
pemiliknya. Ironis bukan?! Setidaknya aku jadi lebih mendapatkan hikmahnya
sekarang. Sungguh benar ungkapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik.
Di situ, aku sudah tidak merasakan ada ‘passion’ lagi dalam
menjalani hari-hari di sekolah. Aku mencoba menambah softskill berupa ekskul angklung, yang notabene sudah punya ‘nama’
di luar sekolah. Aku ikuti dengan serius...iya, serius walaupun itu semua di
luar impian aku sebelumnya karena sejak kecil aku telah didik untuk selalu
total atas apa yang menjadi kewajiban sebagai hasil dari proses memilih. Aku
terus gali sisi yang bisa bikin aku enjoy dan bersyukur dengan
pengalaman yang aku peroleh. Setidaknya beberapa tahun kemudian, aku bisa
merasakan efek positifnya walaupun menggantungkan angan-angan dan harus
melepaskan cita-cita sesuai minatku itu bukanlah hal yang mudah.
Tibalah saatnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Kali ini apa yang aku cita-citakan takkan aku biarkan melayang lagi”, itulah
pikiran yang selalu mengisi hari-hariku dari sejak menjalani proses seleksi
masuk PTN dan ketika menjalani perkuliahan di PTN favorit di Kota Bandung itu.
Pada akhirnya, itu semua membawaku pada konsekuensi bahwa semua butuh
perjuangan, termasuk meyakinkan orangtuaku, terutama ibuku. Yang dimaksud di
sini adalah bahwa walaupun ada waktu lebih yang mesti aku korbankan untuk
hal-hal non-akademis (softskills),
pada akhirnya aku berjanji bahwa IPK setiap semester tidak akan kurang dari
3.00. Alhamdulillah, itu dapat aku buktikan. Walaupun setiap hari, saya harus
berjibaku sebagai anak ‘angkoter’ yang harus meluangkan waktu 2 jam one-way
untuk menempuh jarak antara rumah dan kampus agar tidak sampai terlambat masuk
kelas perkuliahan.
Setiap nilai semester tak lupa aku update kepada orangtuaku
dibarengi dengan cerita-cerita tentang kontribusiku melalui berbagai kegiatan
di kampus. Semua itu aku lakukan dengang sungguh-sungguh dibarengi dengan
ikhtiar dan doa. Pelan-pelan orangtuaku seperti tersadar apa positifnya mencari
kegiatan lain selain akademik. Pelan-pelan mereka mengerti bahwa aku sudah
paham passion-ku sendiri dan bagaimana caraku agar aku dapat meraihnya.
Ditambah lagi dengan berhasilnya aku mendapatkan beasiswa akademik dari suatu
perusahaan besar, yang justru berhasil dikarenakan ada penilaian bahwa aku
aktif berorganisasi, maka orangtuaku makin bersyukur. Aku bahkan tidak ingat
persis bagaimana aku akhirnya mendapatkan informasi bahwa segala bentuk
kegiatan kemahasiswaan dapat dilaporkan
kepada pihak kampus sehingga pada akhirnya dapat diterbitkan suatu sertifikat
yang menunjukkan keaktifan sesorang selama berkuliah. Satu-satunya yang aku
ingat, tanpa sengaja ketika itu aku menuju ke sebuah rapat mahasiswa, lalu
membaca sebuah pengumuman di sebidang papan pengumuman yang cukup besar. Papan
pengumuman tersebut memang selalu memuat informasi-informasi seputar
kemahasiswaan, mulai dari info beasiswa, seminar ilmiah atau kewirausahaan, dan
berbagai pengumuman resmi dari pihak rektorat.
Alhamdulillah, beasiswa akademik tersebut sangat mendukung
bagi saya untuk mengerjakan tugas akhir dimana penelitian bidang biologi tidak
lepas dari material bahan dan alat-alat pendukung selama ekserimen, apalagi
bidang penelitianku ‘fitoremediasi’ terbilang baru di lab-ku ketika itu. Belum
banyak juga jurnal nasional yang membahasnya. Akan tetapi, ketika aku mulai
gali lebih dalam mengenai fitoremediasi via
google, ternyata sudah banyak jurnal internasional yang sudah membahasnya
dari hulu hingga ke hilir (mulai skala laboratorium hingga penerapan di
lapangan). Hanya saja, jurnal yang pembahasannya terkait dengan regulasi ataupun
penerapan intensifnya memang baru beberapa. Oleh karena itulah, walaupun dosen
pembimbingku tertarik ke dalam dunia fitoremediasi, beliau belum memilki link dengan pihak luar kampus untuk
dapat diajak bekerja sama dalam penelitiannya. Saya pun pada akhirnya
tertantang untuk dapat terjun di dalamnya, walaupun biaya penelitian harus
diupayakan secara mandiri.
Dengan menjalani tema penelitian tersebut, saya pun harus
berinisiatif menggali sendiri dunia fitoremediasi dengan mengunduh banyak
jurnal, terutama jurnal-jurnal internasional dengan mengandalkan sarana warnet
(warung internet) yang begitu booming
ketika saya masih kuliah. Fasilitas free
Wi-Fi masih belum ditemukan di berbagai kampus maupun cafe seperti sekarang. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam
mencari-cari jurnal yang relevan, membaca secara detil tiap jurnal, lalu
berusaha menemukan citation jurnal
yang kiranya perlu saya pelajari lebih jauh mengenai mekanisme tumbuhan yang
menjadi andalan dalam teknologi “hijau” fitoremediasi.
Tantangan akhirnya menyeruak. Di saat aku harus mengenali
fitoremediasi secara mandiri di bawah supervisi dosen pembimbing, kegiatan
kemahasiswaan dengan berbagai amanah di dalamnya tidak mungkin pula aku
kesampingkan. Pulang malam menggunakan angkot yang membutuhkan waktu hampir 2
jam untuk sampai ke rumah pun menjadi makanan sehari-hari. Tidur pukul 2,
selepas shubuh aku pun harus kembali ke kampus untuk melanjutkan penelitian.
Faktor trial-and-error tidak terhitung lagi, karena belum ada penelitian serupa sebelumnya yang dilakukan oleh senior-seniorku di departemen tempat aku kuliah. Mulai dari pengadaan sampel tanaman, lokasi penelitian (laboratorium dan rumah kaca), perlakuan dan cara kerja, penanganan sampling, hingga proses pengujian, benar-benar aku harus koordinasikan dengan banyak pihak. Tidak hanya internal jurusan, bahkan aku harus mengatur waktu untuk survei dan bertemu dengan pihak-pihak luar kampus, semuanya harus dipastikan terjadwal dengan baik. Alhamdulillah, dengan pengalaman seperti ini, aku bertekad dalam diri bahwa ini semua akan menjadi pembelajaran untuk mengasah segala sisi dalam diriku, baik afeksi, kognitif, maupun softskills. Semua itu akhirnya diakhiri dengan kesempatan bagiku untuk lulus tepat waktu. Itu memang menjadi targetku, karena beasiswa akademik yang digunakan untuk biaya tugas akhirku hanya aku terima dalam kurun waktu 1 tahun.
Selama melakukan penelitian sarjana tersebut, aku merasa begitu enjoy dengan berbagai tantangan dan keberhasilan yang silih berganti. Seolah ada ritme rutinitas yang akhirnya aku nikmati, dan aku merasa ada kepuasan tersendiri diberi kesempatan seperti itu. Mungkin dari ritme “unik” itulah, akhirnya timbul keinginan dariku untuk studi hingga S2 bahkan S3 dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu seputar fitoremediasi. Apalagi di Indonesia memang belum banyak yang mempelajarinya, padahal polusi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
(Ditulis pertama kali pada 25 Agustus 2020)

Komentar
Posting Komentar