Fitoremediasi

FITOREMEDIASI DAN PERKEMBANGANNYA 

  Sumber : Dokumentasi pribadi

Fitoremediasi bukanlah teknologi yang asing lagi dalam dunia sains. Telah terdapat laporan bahwa sejak 300 tahun yang lalu, tumbuhan telah digunakan untuk memulihkan limbah di suatu perairan (Pirzadah, et. al., 2015). Telah diketahui bahwa Baumann (1865) telah membuat laporan bahwa dua spesies tumbuhan, yakni Thlaspi caerulescens dan Viola calaminaria, sebagai dua spesies pertama yang ditemukan mampu mengakumulasi logam berat. Barulah pada 1885, Baumann menyebutkan bahwa kedua spesies tersebut tergolong tumbuhan hiperakumulator terhadap Zn. Rascio (1977) akhirnya menemukan bahwa Thlaspi caerulescens menunjukkan ketahanan atau resistensi yang tinggi walaupun  terdapat kandungan/ akumulasi Zn berkonsentrasi tinggi pada bagian taruknya.

Belakangan ini telah diketahui bahwa Sachs (1865) dalam Reeves et. al. (2018), menyatakan bahwa Thlaspi alpestre var. calaminare yang saat ini sudah diklasifikasikan sebagai Noccaea caerulescens (Brassicaceae), pernah ditemukan mampu mengakumulasi setidaknya 1% Zn dari berat kerin tumbuhannya, atau berjumlah 10% dari abu inorganiknya. Dalam jurnal lain juga, Baumann (1885) dalam Pirzadah, et. al., (2015) juga ternyata pernah melaporkan adanya kandungan besi (Zn) berkonsentrasi tinggi dalam Noccaea caerulescens (J. Presl & C. Presl) F. K. Mey., yang mana spesies tersebut mampu mentoleransinya (bertahan hidup).

Setelah penemuan oleh Baumann, Byers (1935) menemukan pula bahwa biomassa kering bagian taruk dari tumbuhan genus Astragalus mengakumulasi selenium (Se) dengan jumlah mencapai 0.6%. Kurang lebih satu dekade kemudian, Minguzzi dan Vergnano (1948) menemukan kandungan nikel (Ni) hingga mencapai 1% dari biomassa kering bagian taruk tumbuhan Alyssum bertolonii Desv. (Brassicaceae). Walaupun metode analisis terhadap kandungan Ni kurang mendapatkan pengakuan ketika itu, beberapa ahli berasumsi bahwa tumbuhan ini tergolong hiperakumulator (mampu bertahan hidup dengan bertoleransi) terhadap Ni.

Penelitian awal oleh Ernst et. al. (1974, 1996) pada metal-tolerant plant (tumbuhan pentoleransi) dan metal-accumulating plant (tumbuhan pengakumulasi), pada akhirnya menggiringnya pada penemuan pendahulunya. Terlepas dari berbagai pelaporan dalam berbagi jurnal/ literatur, ide penggunaan tumbuhan dalam teknologi bioremediasi baru dikenalkan jauh di tahun-tahun berikutnya, yakni 1983 (Chaney, 1983). Kemudian, Assuncao et. al. (2003) menuliskan bahwa terminologi ”hyperaccumulator”/ hiperakumulator baru dikenalkan oleh Brooks et.al. pada 1977. Hal tersebut adalah ketika Brooks (1977) mengungkapkan penemuan pertama kali di dunia terhadap beberapa spesies yang mampu mengakumulasi Ni dalam jumlah tinggi dengan sebutan “hyperaccunmulators of Ni” (Robinson et. al., 1997). Secara umum, tumbuhan-tumbuhan hiperakumulator tersebut digunakan dalam dengan cara dikecambahkan atau ditransplantasikan pada area terkontaminasi untuk menyerap polutan melalui berbagai pendekatan teknik pertanian.  

Fitoremediasi atau phytoremediation dalam bahasa Inggris terdiri atas dua buah kata. Kata pertama diambil dari sebuah kata dalam bahasa Yunani, yakni "phyto" yang berarti tumbuhan dan kata kedua dari bahasa Latin, yakni "remedium" yang berarti mengembalikan ke dalam keadaan yang lebih baik. Dengan begitu, fitoremediasi dapat diartikan sebagai teknologi pemulihan yang berbasis tumbuhan untuk mengembalikan keadaan lingkungan menjadi lebih baik. Dalam hal ini, bertujuan untuk mengatasi polusi/pencemaran pada tanah, sedimen, perairan, maupun udara, melalui proses internal pada pertumbuhan maupun penguraian alami oleh mikroorganisme/agen hayati dalam tanah sebagai substrat (tempa tumbuh) tumbuhan.

Melalui berbagai literatur, secara komprehensif fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan (dapat berupa pohon, semak, rumput-rumputan, dan tumbuhan akuatik), dan dapat bersama dengan mikroorganisme untuk mengambil, mendegradasi, atau mengisolasi substansi toksik dari suatu lingkungan (Antoniadis et al., 2017; Chaney et al., 1997; Dickinson et al., 2009; El-Ramady et al., 2015); Ensley, 2000; Favas et al., 2014b, 2016b,c; Mendez and Maier, 2008; Prasad, 2004; Roy et al., 2015; dan Varun et al., 2015). Fitoremediasi telah banyak dinilai oleh para ahli lingkungan/peneliti sebagai alternatif dari sistem pemulihan terhadap polutan/substansi toksik melalui proses kimia dan fisika buatan (non hayati), dengan metode penggalian keseluruhan bagian yang terkontaminasi/mengandung polutan yang diikuti dengan proses pemulihan atau proses inkapsulasi secara in situ (Pierzynski et al., 1994). 

Cikal bakal fitoremediasi dimulai di Amerika Serikat, yang mana setelah sekitar tahun 1970-an mulai digagas program Clean Water Act (CWA) dan Clean Air Act (CAA) oleh United States Environmental Protection Agency (EPA). Baik CWA maupun CAA merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah AS dalam pemulihan air dan udara dari adanya polutan. Kemudian pada 1980, kongres di Amerika Serikat akhirnya mengesahkan sebuah kebijakan yang bernama "Superfund Act" sebagai wujud pencegahan terhadap risiko terjadinya timbunan limbah berbahaya pada level yang tidak dapat tertangani. Kebijakan ini berupa penetapan pajak bagi perusahan minyak dan produsen bahan kimia. Selain itu, pemerintah AS melalui lembaga federal khusus menyusun prosedur penanganan terhadap kasus pembuangan bahan kimia yang bersifat toksik sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat serta lingkungan hidup.

Selama lima tahun kebijakan Superfund ini berjalan, sebanyak 1,6 milyar USD telah terkumpul yang pada akhirnya dijadikan sumber pembiayaan terpercaya untuk membersihkan lokasi-lokasi berpolutan yang tidak terkontrol/ terbengkalai. Dengan adanya kebijaka tersebut, mulai difasilitasi ide penggunaan tumbuhan yang tergolong hiperakumulator untuk dapat diaplikasikan pada berbagai lahan yang tercemar oleh bahan kimia toksik (polutan).

Pada 1991, Ilyas Raskin dari Universitas Rutgers menjadi orang pertama yang menggunakan istilah/ terminologi “phytoremediation”, yang dituliskan dalam sebuah proposal dana hibah kepada program Superfund yang digagas oleh EPA. Hal ini tentu saja menarik perhatian kalangan pemerintah maupun industri. Ia menggunakan dana hibah tersebut untuk mengeksplorasi potensi yang dimiliki tumbuhan untuk memulihkan kondisi tanah dan air yang terkontaminasi oleh logam berat (Raskin, 1994).

Sejak saat itu, para peneliti seolah memiliki pijakan dalam mengembangkan teknologi fitoremediasi. Para peneliti akhirnya melakukan serangkaian riset untuk mengetahui pula spesies manasaja yang bersifat hiperakumulator yang bisa dipakai dalam teknologi "hijau" ini. Kemudian, mereka mendalami berbagai spesies tumbuhan untuk digunakan dalam mendetoksifikasi berbagai jenis polutan, mulai dari timbale di lokasi bekas penambangan, pestisida pada lahan hijau yang ditumbuhi pohon dan buah, hingga hidrokarbon minyak yang berasal dari kebocoran bahan bakar (Gerhardt, 2017). 

Tak hanya di AS, fitoremediasi pun menjadi bidang baru yang semakin dilirik di negara-negara maju lainnya di dunia. Penggolongan jenis-jenis polutan menjadi semakin diteliti lebih rinci untuk menemukan metode fitoremediasi dan menggunakan tumbuhan manakah yang paling tepat dengan mempertimbangkan berbagai kondisi fisika kimia di mana polutan tersebut terdeteksi.

Beberapa waktu yang lalu telah diadakan Internasional Simposium yang ke-5 tentang Bioremediation and Sustainable Environmental Technologies/ “Bioremediasi dan Teknologi Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan”, pada 15 -18 April 2019, berlokasi di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Simposium Bioremediasi tersebut merupakan forum untuk berbagi informasi seputar hasil penelitian, bertukar pikiran antarpeneliti/ pakar bidang ilmu, dan menyediakan pula peluang dalam pengembangan bioremediasi dan teknologi dalam dunia remediasi. Perkembangan, implementasi, penggunaan, dan hasil dari alat-alat pemonitor, begitu pula tantangan dalam penerapan bioremediasi di berbagai tipe lingkungan yang kompleks, tidak lupa dibahas dalam forum ini.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar di Jepang: Inspirasi Manajemen Sampah Rumah Tangga

BANGUNKAN NORMA UNTUK KEHIDUPAN

IT HAS NEVER BEEN LATE