BANGUNKAN NORMA UNTUK KEHIDUPAN


“Menyepelekan”, mungkin itu adalah salah satu kemungkinan yang kita rasakan jika mendengar jawaban seseorang yang kita tanya acak. Atau...pasti ada juga yang akan berkomentar sebaliknya, mungkin perlu diadakan sensus dan dibuat data statistiknya, jika ingin memperoleh data konkret tentang norma yang ada di masyarakat Indonesia. Sudah pernahkah kita mengevaluasinya? Atau, saya ubah saja pertanyaannya. Seberapa intenskah kita menganggap penting dari suatu norma.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Mungkin dokumentasi pribadi saya ini, pernah ada juga yang mengamatinya. Lalu, berapakah dari kita yang ketika bertanya pada diri sendiri kemudian merasa risih dan tak nyaman dengan pemandangan tersebut. Bukankah akan lebih elok ketika setelah kantong belanja dinaikkan ke dalam mobil, bisa saja sang pembeli mengembalikan troli ke tempatnya yang telah disediakan oleh pengelola? Atau, mudahnya cukup geserkan troli tersebut ke tempat aman yang tidak akan menghalangi jalan masuk mobil yang akan parkir.

Sebenarnya hal tersebut adalah sangat mudah, namun kenyataan tersebut memang tidak akan mudah dilakukan ketika rasa empati tidak tumbuh dalam diri. Merasakan posisi kita di posisi orang lain rupanya bisa dimasukkan ke dalam skill, artinya sesuatu hal bernilai positif dan orang yang memilikinya sungguh layak diapresiasi. Jika hal kecil saja masih diabaikan, bagaimana kita akan mampu menghadapi hal yang jauh lebih besar?

Dalam kaitannya dengan sikap manusia terhadap lingkungan, sudah sepatutnya manusia dapat menempatkan diri bahwa dia hidup di bumi hanya “menumpang”. Dengan demikian semua hal yang terkandung di dalam bumi adalah titipan. Manusia memerlukannya, begitu pun makhluk hidup yang lain.

Misalnya dalam menjaga sumber daya air, tak ubahnya gerakan hati yang memberikan semangkuk air bagi kucing yang melintas dan menghampiri rumah kita. Lalu kita bertanya dalam diri, apakah dia kehausan?

Sungai yang sekarang sudah mulai lebih dikenal sebagai ruang terbuka biru, sudahkan benar-benar menjadi ruang terbuka yang dapat diakses oleh semua makhluk hidup? Jangankan hewan dan tumbuhan, banyak manusia yang membutuhkan tetapi terpaksa harus mengalah dengan keberadaan bangunan beton yang berdiri untuk tujuan “healing” atau sekadar menjadi tempat nongkrong untuk memandangi keindahan alam terbuka dari kejauhan. Zona riparian yang seharusnya menjadi zona steril dari bangunan tak ayal menjadi spot yang menarik untuk dijamah dan sungai seolah menjadi halaman belakang untuk dijadikan saluran buangan.

Sama halnya dengan beton-beton produsen berbagai produk banyak berdiri membelakangi sungai dan membuang berbagai polutan tanpa pengolahan yang tuntas. Hubungan hulu dan hilir sungai seolah dipandang tak lagi penting, hanya dikarenakan motif ekonomi semata. Padahal tanpa adanya norma, lingkungan semakin rusak dan manusia sendiri adalah makhluk yang pada akhirnya akan menuai dampak akibat ulah segelintir atau sekelompok manusia lainnya. Sungguh sayang norma telah terabaikan.

(Ditulis pertama kali pada 17 September 2022)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar di Jepang: Inspirasi Manajemen Sampah Rumah Tangga

IT HAS NEVER BEEN LATE